Sabtu, 09 April 2011


HAK DAN KEWAJIBAN

 WARGA NEGARA



Hak : adalah sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan penggunaannya tergantung kepada kita sendiri.
Contoh : hak mendapatkan pengajaran, hak mendapatkan nilai dari dosen dan sebagainya.
Kewajiban : Sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab.
Contoh : melaksanakan tata tertib di kampus, melaksanakan tugas yang diberikan dosen dengan sebaik baiknya dan sebagainya.
B. Hak dan Kewajiban dalam UUD 1945 Pasal 30.
Di tegaskan bahwa tiap – tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara. Usaha pertahanan dan keamanan Negara dilaksanakan melalui system pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia,sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.
Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat –syarat keikutsertaan warga Negara dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara, serta hal – hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang –undang.
Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 30 Ayat (1) menyebutkan tentang hak dan kewajiban tiap warga negara ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Ayat (2) menyebutkan usaha pertahanan dan keamanan rakyat, Ayat (3) menyebutkan tugas TNI sebagai "mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara". Ayat (4) menyebut tugas Polri sebagai "melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum". Ayat (5) menggariskan, susunan dan kedudukan, hubungan kewenangan TNI dan Polri dalam menjalankan tugas, serta hal-hal lain yang terkait dengan pertahanan dan keamanan, diatur dengan undang-undang (UU). Dari pembacaan Pasal 30 secara utuh dapat disimpulkan, meski TNI dan Polri berbeda dalam struktur organisasi, namun dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing keduanya bekerja sama dan saling mendukung dalam suatu "sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta". Pengaturan tentang sinkronisasi tugas pertahanan negara (hanneg) dan keamanan negara (kamneg) itulah yang seyogianya ditata ulang melalui undang-undang yang membangun adanya "ke-sistem-an" yang baik dan benar.
Tanggal 8 Januari Tahun 2002 DPR melahirkan UU No 2 dan UU No 3 Tahun 2002, masing-masing tentang Polri dan tentang Hanneg, hasil dari Ketetapan MPR No VI dan VII Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri . Pada 18 Agustus 2000 Komisi Konstitusi meresmikan Amandemen Kedua UUD 1945 yang menghasilkan Ayat (2) Pasal 30 UUD 1945 dengan rumusan sistem "han" dan "kam" serta "ra" dan "ta" . Pada Agustus 2003 Ketetapan I MPR Tahun 2003 menggugurkan Ketetapan VI dan VII MPR Tahun 2000 setelah ada perundang-undangan yang mengatur Polri dan tentang Hanneg. Pertengahan Oktober 2004 DPR meluluskan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Dengan demikian, pada awal Maret 2005 telah ada UU tentang Hanneg, UU tentang Polri, dan UU tentang TNI. Namun, hingga kini belum ada UU tentang "Keamanan Negara" guna merangkai "Kamneg" dalam satu sistem dengan "Hannneg" (kata "dan" antara "han" dan "kam" untuk membedakan dan memisahkan organisasi TNI dari Polri). Sayang, UU tentang Polri, UU tentang Hanneg, dan UU tentang TNI sama sekali tidak menyebut "sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta" sebagai landasan pokok pemikiran bahwa ada kaitan sinergis antara fungsi "pertahanan negara" dan "keamanan negara".
Oleh karena itu, apabila kita konsisten dengan amanat Pasal 30 Ayat (2), yaitu membangun sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, perlu disiapkan UU tentang Pertahanan dan Keamanan Negara yang lebih bermuatan semangat dan kinerja "sishankamrata". Bila penyebutan pertahanan negara (hanneg) dan keamanan negara (kamneg) dipilih sebagai peristilahan baku, dari logikanya seharusnya ada UU Keamanan Negara yang mewadahi UU Polri. Sebagaimana pasal-pasal dalam UU Hanneg menyebut, pertahanan negara bukan sekadar mengurus tentang TNI, maka UU Kamneg perlu menegaskan, keamanan negara bukan sekadar tugas dan wewenang Polri. Penjelasan UU tentang TNI menyebutkan, "di masa mendatang TNI akan berada dalam Departemen Pertahanan (Dephan)", suatu pengukuhan konsep dan praktik supremasi sipil serta efisiensi kebijakan, strategi, dan penggunaan kekuatan TNI. UU Polri pun perlu "ditemani" UU Kamneg yang kelak mengintegrasikan Polri ke dalam suatu institusi sipil (misalnya, Departemen Dalam Negeri) sebagaimana Dephan kelak menjadi instansi yang mengintegrasikan TNI di dalamnya.
Dephan menyiapkan naskah akademik melalui undang-undang yang 1) Mencerminkan adanya "kesisteman" antara pertahanan negara dan keamanan negara; 2) Mengandung adanya semangat kerja sama TNI dan Polri dalam departemen dengan otoritas sipil yang berbeda; dan 3) Membina kerja sama, baik antara fungsi TNI dan fungsi Polri di lapangan; diharapkan "merapikan" dan "menyelaraskan" pasal-pasal yang ada dalam UU tentang Polri, UU tentang Hanneg serta UU tentang TNI.
Pasal 30 UUD 1945 menerangkan bahwa, pertahanan negara tidak sekadar pengaturan tentang TNI dan bahwa keamanan negara tidak sekadar pengaturan tentang Polri. Pertahanan negara dan keamanan negara perlu dijiwai semangat Ayat (2) tentang "sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta". Makna dari bunyi Ayat (5), “yang terkait pertahanan dan keamanan negara, diatur dengan undang-undang" adalah bahwa RUU, UU, dan Peraturan Pemerintah lain seperti RUU Intelijen, UU tentang Keimigrasian, UU tentang Kebebasan Informasi, UU Hubungan Luar Negeri, RUU tentang Rahasia Negara, UU tentang Otonomi Daerah, dan hal-hal lain yang terkait pertahanan dan keamanan negara perlu terjalin dalam semangat kebersamaan "sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta".
Setelah melantik Kabinet Indonesia Bersatu 21 Oktober 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggariskan bahwa sebagai seorang "konstitusionalis" ia bertekad agar hal-hal yang berhubungan dengan penyelenggaraan negara taat pada ketentuan UUD 1945.
Sejalan dengan tekad itu, perluasan dan pendalaman sekitar makna Pasal 30 UUD 1945 adalah salah satu tugas menteri pertahanan.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 30 tertulis bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara." dan " Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang." Jadi sudah pasti mau tidak mau kita wajib ikut serta dalam membela negara dari segala macam ancaman, gangguan, tantangan dan hambatan baik yang datang dari luar maupun dari dalam.
Beberapa dasar hukum dan peraturan tentang Wajib Bela Negara :
1. Tap MPR No.VI Tahun 1973 tentang konsep Wawasan Nusantara dan Keamanan Nasional.
2. Undang-Undang No.29 tahun 1954 tentang Pokok-Pokok Perlawanan Rakyat.
3. Undang-Undang No.20 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Hankam Negaraankam Negara RI. Diubah oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988.
4. Tap MPR No.VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dengan POLRI.
5. Tap MPR No.VII Tahun 2000 tentang Peranan TNI dan POLRI.
6. Amandemen UUD '45 Pasal 30 dan pasal 27 ayat 3.
7. Undang-Undang No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Dengan hak dan kewajiban yang sama setiap orang Indonesia tanpa harus dikomando dapat berperan aktif dalam melaksanakan bela negara. Membela negara tidak harus dalam wujud perang tetapi bisa diwujudkan dengan cara lain seperti :
1. Ikut serta dalam mengamankan lingkungan sekitar (seperti siskamling)
2. Ikut serta membantu korban bencana di dalam negeri
3. Belajar dengan tekun pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan atau PKn
4. Mengikuti kegiatan ekstraklurikuler seperti Paskibra, PMR dan Pramuka.
Sebagai warga negara yang baik sudah sepantasnya kita turut serta dalam bela negara dengan mewaspadai dan mengatasi berbagai macam ATHG / ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan pada NKRI / Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti para pahlawan yang rela berkorban demi kedaulatan dan kesatuan NKRI.
Beberapa jenis / macam ancaman dan gangguan pertahanan dan keamanan negara :
1. Terorisme Internasional dan Nasional.
2. Aksi kekerasan yang berbau SARA.
3. Pelanggaran wilayah negara baik di darat, laut, udara dan luar angkasa.
4. Gerakan separatis pemisahan diri membuat negara baru.
5. Kejahatan dan gangguan lintas negara.
6. Pengrusakan lingkungan.

Istilah Kewarganegaraan (citizenship) memiliki arti keanggotaan yang menunjukkan hubungan atau ikatan antara negara dengan warga negara, atau segala hal yang berhubungan dengan warga negara. Pengertian kewarganegaraan dapat dibedakan dalam arti  : 1) Yuridis dan Sosiologis, dan 2) Formil dan Materiil.
Asas Kewarganegaraan di Indonesia :
•  Asas kelahiran (Ius soli) adalah penentuan status kewarganegaraan berdasarkan
tempat atau daerah kelahiran seseorang.
•  Asas keturunan (Ius sanguinis) adalah pedoman kewarganegaraan berdasarkan
pertalian darah atau keturunan.
•  Asas Perkawinan : Status kewarganegaraan dapat dilihat dari sisi perkawinan yang
memiliki asas kesatuan hukum, yaitu paradigma suami isteri atau ikatan keluarga
merupakan inti masyarakat yang mendambakan suasana sejahtera, sehat dan bersatu.
Unsur Pewarganegaraan (Naturalisasi)  :
•  Bersifat aktif yaitu seseorang yang dapat menggunakan hak opsi untuk memilih atau mengajukan kehendak untuk menjadi warga negara dari suatu negara.
•  Bersifat Pasif, seseorang yang tidak mau diwarganegarakan oleh suatu negara atau tidak mau diberi status warga negara suatu negara, maka yang bersangkutan menggunakan hak Repudiasi yaitu hak untuk menolak pemberian kewarganegaraan tersebut.
Status Kewarganegaraan Indonesia :
•  Apatride ( tanpa Kewarganegaraan ) adalah seseorang yang memiliki status
kewarganegaraan hal ini menurut peraturan kewarganegaraan suatu negara, seseorang tidak diakui sebagai warga negara dari negara manapun.
•  Multipatride, yaitu seseorang (penduduk) yang tinggal di perbatasan antara dua negara.
•  Bipatride ( dwi Kewarganegaraan ) adalah kewarganegaraan yang timbul apabila peraturan dari dua negara terkait seseorang dianggap warganegara ke dua negara tersebut.
Hak Warga Negara Indonesia :
-   Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak : “Tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” (pasal 27 ayat 2).
-   Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan: “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”(pasal 28A).
-   Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (pasal 28B ayat 1).
-   Hak atas kelangsungan hidup. “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan Berkembang”
-   Hak untuk mengembangkan diri dan melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan berhak mendapat pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi
meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan hidup manusia. (pasal 28C ayat 1)
-   Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. (pasal 28C ayat 2).
-   Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di depan hukum.(pasal 28D ayat 1).
-   Hak untuk mempunyai hak milik pribadi Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (pasal 28I ayat 1).
Kewajiban Warga Negara Indonesia  :
-   Wajib menaati hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi :
segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
-   Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 27 ayat (3) UUD 1945
menyatakan  : setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara”.
-   Wajib menghormati hak asasi manusia orang lain. Pasal 28J ayat 1 mengatakan :
Setiap orang wajib menghormati hak asai manusia orang lain
-   Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 28J ayat 2 menyatakan : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
-   Wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Pasal 30 ayat (1) UUD 1945. menyatakan: “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”
HAK DAN KEWAAJIBAN WARGA NEGARA :
1.  Wujud Hubungan Warga Negara dengan Negara Wujud hubungan warga negara dan negara pada umumnya berupa peranan (role).
2.  Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia Hak kewajiban warga negara Indonesia tercantum dalam pasal 27 sampai dengan pasal 34 UUD 1945.
HAK ASASI MANUSIA
Hak asasi manusia adalah sesuatu yang diberikan oleh Tuhan dari sejak lahir. Hak adalah sesuatu yang layak di terima oleh setiap manusia. Seperti mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak memeluk agama, dan hak untuk mendapat pengajaran. Hak selalu beriringan dengan kewajiban-kewajiban, ini merupakan sesuatu yang harus kita lakukan bagi bangsa, negara, dan kehidupan sosial.
Hak asasi manusia dalam bahasa Prancis disebut “Droit L’Homme”, yang artinya hak-hak manusia dan dalam bahsa Inggris disebut “Human Rights”. Seiring dengan perkembangan ajaran Negara Hukum, di mana manusia atau warga negara mempunyai hak-hak utama dan mendasar yang wajib dilindungi oleh Pemerintah, maka muncul istilah “Basic Rights” atau “Fundamental Rights”. Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah merupakan hak-hak dasar manusia atau lebih dikenal dengan istilah “Hak asasi manusia”.(Ramdlon Naning; 1982 : 97) Meriam Budiardjo, mengemukakan bahwa :
“Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh daqn dibawanya bersamaan dengan kelahirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, kelamin dank arena itu bersifat universal. Dasar dari semua hak asasi ialah bahwa manusia memperoleh kesempatan berkembang sesuai dengan harkat dan cita-citanya. (Meriam Budiardjo; 1980 : 120)
Isi dari pada hak asasi manusia hanya dapat ditelusuri lewat penelusuran aturan hukum dan moral yang berlaku dalam masyarakat. John Locke (1632-1704) yang dikenal sebagai bapak hak asasi manusia, dalam bukunya yang berjudul “Two Treatises On Civil Government”, menyatakan tujuan Negara adalah untuk melindungi hak asasi manusia warga negaranya. Manusia sebelum hidup bernegara atau dalam keadaan alamiah (status naturalis) telah hidup dengan damai dengan haknya masing-masing, yaitu hak untuk hidup, hak atas kemerdekaan dan hak atas penghormatan terhadap harta miliknya, yang semua itu merupakan propertinya.(Dikutif dari I Dewa Gede Atmadja; 2002 ;3-5)
Di Indonesia berdasarkan Perubahan UUD 1945 dalam Bab XA ditentukan mengenai Hak Asasi manusia. Namun kaitannya dengan hak-hak di bidang ekonomi, sosial dan budaya identifikasinya belum rinci dan jelas. Oleh karena hak-hak yang berkaitan dengan hak dibidang ekonomi, sosial dan budaya masih tersebar dalam pasal-pasal yang ada. Dengan penelusuran melalui pendekatan sejarah, maka ditemukan perkembangan dari ha-hak dibidang ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya lazimnya dikatagorikan sebagai hak-hak positif (Positive Rights) yang dirumuskan dalam bahasa “rights to” (hak atas), sedangkan hak-hak sipil dan politik dikategorikan sebagai hak-hak negative (Negative Rights ) yang dirumuskan dalam bahasa “freedom from” (kebebasan dari). Sebagai hak-hak positif, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dipahami sebagai hak hak yang tidak dapat dituntut di muka pengadilan (non-justicible), sebaliknya dengan hak-hak sipil dan politik, sebagai hak-hak negative, dapat dituntut di muka pengadilan. (Kasim, dalam Kasim dan Arus: xii-xiv).
Macam Hak Asasi Manusia
a.  Hak Asai Manusia tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi.
b.  Hak asasi manusia berlaku untuk semua orang tanpa memandang.
c.  Hak asasi manusia tidak boleh dilanggar.
HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
1.  Pengakuan Bangsa Indonesia akan HAM
Pengakuan HAM pada Pembukaan UUD 1945 Alenia 1 dan Alenia 4, batang Tubuh UUD 1945,  Ketetapan MPR, Peraturan Perundang-Undangan.
2.  Penegakan HAM
Memberi jaminan perlindungan terhadap HAM, selain dibentuk peraturan hukum, juga di bentuk kelembagaan yang menangani masalah yang berkaitan dengan penegakan HAM.
3.  Konvensi Internasional tentang HAM
Konvensi Internasional terhadap HAM adalah wujud nyata kepedulian masyarakat
internasional akan pengakuan, perlindungan, penegakan HAM.
4.  Keikutansertaan Indonesia dalam Konvensi Internasional
Tanggung jawab dan menghormati atas berbagai konvensi internasional tantang HAM tersebut diwujudkan dengan keikutsertaan indonesia untuk instrumen internasional.
Hak dan Kewajiban telah dicantumkan dalam UUD 1945 pasal 26, 27, 28, dan 30, yaitu :
1.  Pasal 26, ayat (1), yang menjadi warga negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Dan pada ayat (2), syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang.
2.  Pasal 27, ayat (1), segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahannya, wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu. Pada ayat (2), taip-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
3.  Pasal 28, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
4.  Pasal 30, ayat (1), hak dan kewajiban warga negara untuk ikut serta dalam pembelaan negara. Dan ayat (2) menyatakan pengaturan lebih lanjut diatur dengan undang-undang.
Pokok Pikiran Amandemen UUD 1945 Amandemen Ke-Empat
Amandemen keempat diarahkan untuk memperbaik penyelenggaran negara dan penekanan perhatian pada pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. Pada amandemen keempat diubah hal-hal sebagai berikut :
a.  MPR pada Bab II pasal 2 menyebutkan bahwa anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilu. Jadi anggota MPR tidak ada lagi yang berasal dari penunjukkan.
b.  Pemilu, proses pemilu pemilihan presiden dilakukan melalui putaran kedua apabila pada putaran pertama gagal memperoleh pemenang. Perubahan ini menunjukkan bahwa proses pemilihan presiden ditentukan oleh rakyat secara demokratis bukan lembaga-lembaga lain.
c.  Pendidikan dan Kebudayaan diubah dalam Bab XIII, didalam bab tersebut pada intinya hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang baik, dengan alokasi anggaran yang memadahi.
d.  Perekonomian dan Kesejahteraan sosial diubah dalam Bab XIV, pada intinya menyatakan bahwa perekonomian diusahakan pemerintah terdistribusi secara adil dan merata.
Disamping itu juga menekanankan kembali bahwa pemerintah berkewajiban untuk
memelihara warga negara yang hidup miskin serta mengembangkan jaminan sosial bagi seluruh warganya.
e.  Perubahan UUD diatur dalam Bab XVI pasal 37 dalam pasal tersebut diatur ketentuan dan syarat perubahan UUD kecuali negara kesatuan Republik Indonesia.
Permasalahan UUD 1945 menjadi kendala dalam pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara.
UUD 1945 merupakan merupakan produk konstitusi yang melandasi yaitu orde lama dan orde baru, seperti yang sudah kita ketahui bahwa kedua rejim tersebut sarat dengan kelemahan-kelemahan. Menurut Mahfud, didalam UUD 1945 terdapat lima kelemahan dasar yaitu :
-  Konstitusi yang Sarat Eksekutif.Konstitusi UUD 1945 syarat dengan kekuasaan eksekutif
dimana presiden memegang kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislasi.
-  Kurangnya Sistem Check and Balances.Didalam UUD 1945 asli MPR dinyatakan sebagai lembaga tertinggi negara namun didalam prakteknya MPR tidak dapat mengendalikan presiden. Di dalam UUD 1945 tersebut juga tidak secara jelas memisahkan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif sehingga tidak berhasil menciptakan mekanisme yang baik. Kegagalan tersebut menciptakan kekuasaan kekuasaan presiden yang dominan diatas legislatif dan yudikatif.
-  Terlalu banyak Pendelegasian ke tingkat Undang-Undang.Pendelegasian UUD 1945 ketingkat Undang-Undang menimbulkan problem ketika presiden sebagai kepala eksekutif diberikan kukuasaan yang besar didalam pembuatan perundangan (legislasi). Ketidakseimbangan kekuasaan antara presiden dengan DPR (legislatif) menyebabkan presiden dapat membuat UU sesuai dengan kondisi yang diharapkannya, sehingga dikhawatirkan muncul otoriterisme.
-  Masih Adanya Pasal-Pasal yang Multi Tafsir.Pasal-pasal yang mengandung pasal-pasal ini yang dikemudian dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan atas nama UU. Pasal-pasal tersebut memberikan keleluasaan bagi eksekutif untuk menafsirkan pasal tersebut sesuai dengan kepentingannya.
-   Praktek UUD 1945 sangat tergantung Political Will dari pemerintah.ketidakjelasan pasal- pasal tersebut ditas menyebabkan pelaksanaan UUD 1945 sangat tergantung dari kemamuan pemerintah. Kekuasaan yang tak terkontrol dengan penyeimbang yang baik akan membuat eksekutif menjadi pemerintah yang otoriter seperti yang terjadi pada orde lama dan orde baru. Didalam perkembangannya pasal-pasal tersebut diperbaiki didalam amandemen UUD 1945 seperti yang sudah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya.
Sampai saat ini masih banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi baik pusat maupun daerah. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain :
1.  Tidak jelasnya sistem parlemen di Indonesia, parlemen di Indonesia terdiri dari DPR, DPD dan MPR. Sedangkan MPR adalah lembaga tinggi negara yang mempunyai kekuasan sendiri namun anggotanya adalah anggota dari DPR dan DPD.
2.  Reformasi eksekutif sampai saat ini presiden masih belum terbebas dari cengkraman partai-partai politik. Presiden yang diusulkan melalui partai politik cenderung melakukan politik balas budi kepada partai yang mencalonkannya.
3.  Reformasi legislatif pada amandemen UUD 1945 sudah dilkukan yaitu dengan menggeser kekuasan eksekutif ke legiaslatif untuk menciptakan sistem Check and Balances yang baik. Namun, dalam implementasinya perubahan ini membuat DPR/D seperti menjadi lembaga superior karena kesalahan penafsiran UU bagi sebagian anggota DPR/D.
4.  Pelaksanaan otonomi daerah banyak multi tafsir sehingga implementasi didaerah
berbeda-beda. Otonomi menimbulkan banyak permasalahan terutama kedaerahan dan sulitnya koordinasi antar daerah.
5.  Masih tingginya kebocoran anggaran dan kesalahan pengelolaan SDA menyebabkan efisiensi anggaran dan pendapatan negara yang baik belum tercapai. Kebocoran tersebut mengakibatkan rendahnya pelayanan pemerintah di bidang pendidikan dan belum tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Konsep Hak dan Kewajiban dalam UUD 1945
Memasukkan hak-hak asasi manusia ke dalam pasal-pasal konstitusi merupakan salah satu ciri konstitusi moderen. Setidaknya, dari 120an konstitusi di dunia, ada lebih dari 80 persen diantaranya yang telah memasukkan pasal-pasal hak asasi manusia, utamanya pasal-pasal dalam DUHAM. Perkembangan ini sesungguhnya merupakan konsekuensi tata pergaulan bangsa-bangsa sebagai bagian dari komunitas internasional, utamanya melalui organ Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sejak dideklarasikannya sejumlah hak-hak asasi manusia dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau biasa disebut DUHAM 1948 (Universal Declaration of Human Rights), yang kemudian diikuti oleh sejumlah kovenan maupun konvensi internasional tentang hak asasi manusia, maka secara bertahap diadopsi oleh negara-negara sebagai bentuk pengakuan rezim normatif internasional yang dikonstruksi untuk menata hubungan internasional.
Dalam konteks sejarah dan secara konsepsional, Undang-Undang Dasar 1945 yang telah lahir sebelum DUHAM memiliki perspektif hak asasi manusia yang cukup progresif, karena sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea 1 :
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Sebagai warga negara yang baik kita wajib membina dan melaksanakan hak dan kewajiban kita dengan tertib. Hak dan kewajiban warga negara diatur dalam UUD 1945 yang meliputi :
Hak dan kewajiban dalam bidang politik
•  Pasal 27 ayat (1) menyatakan, bahwa “Tiap-tiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemeritahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini menyatakan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, yaitu :
1.  Hak untuk diperlakukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.
2.  Kewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan.
•  Pasal 28 menyatakan, bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Arti pesannya :
1.  Hak berserikat dan berkumpul.
2.  Hak mengeluarkan pikiran (berpendapat).
Kewajiban untuk memiliki kemampuan beroganisasi dan melaksanakan aturan-aturan lainnya, di antaranya: Semua organisasi harus berdasarkan Pancasila sebagai azasnya, semua media pers dalam mengeluarkan pikiran
Hak dan kewajiban dalam bidang sosial budaya
•  Pasal 31 ayat (1) menyatakan, bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat
pengajaran”. Pasal 31 ayat (2) menyatakan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan
undang-undang”.
•  Pasal 32 menyatakan bahwa “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”.
Arti pesan yang terkandung adalah :
1. Hak memperoleh kesempatan pendidikan pada segala tingkat, baik umum maupun
kejuruan.
2. Hak menikmati dan mengembangkan kebudayaan nasional dan daerah.
3. Kewajiban mematuhi peraturan-peraturan dalam bidang kependidikan.
4. Kewajiban memelihara alat-alat sekolah, kebersihan dan ketertibannya.
5. Kewajiban ikut menanggung biaya pendidikan.
6. Kewajiban memelihara kebudayaan nasional dan daerah.
Selain dinyatakan oleh pasal 31 dan 32, Hak dan Kewajiban warga negara tertuang pula pada pasal 29 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Arti pesannya adalah :
7. Hak untuk mengembangkan dan menyempurnakan hidup moral keagamaannya,
sehingga di samping kehidupan materiil juga kehidupan spiritualnya terpelihara
dengan baik.
8. Kewajiban untuk percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Hak dan kewajiban dalam bidang Hankam
•  Pasal 30 menyatakan, bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara”. Arti pesannya : bahwa setiap warga negara berhak dan wajib dalam usaha pembelaan negara.
Hak dan kewajiban dalam bidang Ekonomi
•  Pasal 33 ayat (1), menyatakan, bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan”.
•  Pasal 33 ayat (2), menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.
•  Pasal 33 ayat (3), menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”.
•  Pasal 34 menyatakan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
negara”.
Hak Asasi Manusia Bidang Ekonomi.
Di dalam Pasal 27 ayat (2) Perubahan UUD 1945 ditentukan : “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dalam Pasal 28D ayat (2) Perubahan UUD 1945 ditentukan :Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Selanjutnya khusus mengenai perekonomian diatur dalam Pasal 33 Perubahan UUD 1945 yaitu :
(1). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
(3). Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Penelusuran dalam kepustakaan ditemukan bahwa hak asasi manusia bidang ekonomi adalah hak yang berkaitan dengan akitivitas perekonomian, perburuhan, hak mempero!eh pekerjaan, perolehan upah dan hak ikut serta dalam serikat buruh.
- Hak memperoleh Pekerjaan.
Deklarasi Umum Persenkatan Bangsa-dangsa (PBB) tentang HAM, dalam pasal 23 ayat (1) menentukan “setiap orang berhak atas pekerjaan berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil serta baik dan atas perlindungan terhadap pengangguran. Dalam International Covenant on Economc, Social and Cultural 1966, pasal 6 ayat (1) menentukan “negara-negara peserta perjanjian ini mengakui hak untuk bekerja yang meliputi setiap orang atas kesempatan memperoleh nafkah dengan melakukan pekerjaan yang secara bebas dipilihnya atau diterimanya dan akan mengambil tindakan-tindakan yang layak dalam melindungi hak ini”. Kecuali itu, dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 menentukan :“setiap warga negara sesuai dengan bakat, kecakapan dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak (ayat 1). Selain itu ditentukan “setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil (ayat 2). Setiap orang baik. pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama (ayat 3). Sedangkan ayat 4 menentukan “ setiap orang baik pria maupun wanita dalam rnelakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarga.
- Hak mendapat upah yang sama.
Untuk menciptakan keadilan, maka perolehan upah antara pria dan wanita diharapkan tidak berbeda dalam hal jenis kelamin dan kualitas pekerjaan yang sama. The Universal Declaration of Human Rights 1948, dalam pasal 23 ayat (2) menentukan “setiap orang dengan tidak ada perbedaan, berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama”. Hal yang sama juga diatur secara rinci dalam pasal 7 International Covenant on Economic, Social and Cultural menetukan “negara-negara pesertaperjanjian mcngakui hak setiap orang akan kenikmatan kondisi kerja yang adil dan menyenangkan yang mejamin :
a. Pemberian upah bagi semua pekerja, sebagai minimum dengan :
1) Gaji yang adil dan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya tanpa perbedaan apapun, terutama wanita yang dijamin kondisi kerjanya tidak kurang dan kondisi yang dinikmati oleh pria, dengan gaji yang sama untuk pekerjaan yang
sama.
2) Penghidupan yang layak untuk dirinya dan keluarganya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian.
b. Kondisi keja yang aman dan sehat;
c. Persamaan kesempatan untuk setiap orang untuk dipromosikan pekerjaannya ke tingkat
yang lebih tinggi, tanpa pertimbangan lain kecuali senioritas dan kecakapan;
d. Istirahat, santai dan pembatasan dan jam kerja yang layak dan liburan berkala.dengan upah dan juga upah pada hari libur umum. Hal yang sama dalam hukum positif Indonesia diatur dalam pasal 38 Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia.
- Hak ikut serta dalam Serikat Buruh.
Piagam dalam Dekiarasi Umum Perserikatan Bangsa Bangsa 1948, pada pasal 23 ayat (4) menentukan :”setiap orang herhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat kerja untuk melindungi kepentingannya.
Hak Asasi Manusia di bidang Sosial dan Budaya
a. Hak asasi Manusia di bidang Sosial
Hak asasi manusia bidang sosial adalah hak
asasi manusia yang berkaitan dengan hak atas
jaminan sosial, hak atas perumahan dan hak
atas pendidikan. Dalam Perubahan UUD 1945
ditentukan sbb.:
  1. Pasal 28H ayat (3) Perubahaqn UUD 1945 menentukan :”Setiap orang berhak atas
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermantabat.
  1. Pasal 28H ayat (1) Perubahan UUD 1945 menentukan: “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
  1. Pasal 31 Perubahan UUD 1945 menentukan tentang pendidikan dan
kebudayaan yaitu :
Ayat (1) Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan
Ayat (2) Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Ayat (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta aklak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-undang.
Ayat (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Ayat (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tehnologi dengan menjungjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Hak Asasi manusia di bidang Budaya
Hak asasi manusia dalam bidang budaya dapat diidentifikasi sebagai berikut.
  1. Pasal 28C Perubahan UUD 1945
menentukan bahwa :”Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan tehnologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
  1. Pasal 28I ayat (3) Perubahan UUD 1945
menentukan bahwa:”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
  1. Pasal 32 Perubahan UUD 1945
menentukan :
Ayat (1) Negara memajukan kebudayaan
nasional Indonesia ditengah peradaban dunia
dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya.
Ayat (2) Negara menghormati dan memelihara
bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
nasional.
Di dalam Perubahan UUD 1945 ditegaskan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Berangkat dari ketentuan tersebut, maka perlindungan , pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah merupakan tanggung jawab Negara, terutama
pemerintah. Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan. Maka dalam rangka memenuhi semua itu dikeluarKAN



P


emimpin Negara Islam (atau Negara) berkewajiban untuk mendidik dan membimbing rakyat dalam mengarungi kehidupan dunia yang fana ini menuju kehidupan akhirat yang kekal. Negara juga berkewajiban untuk menjaga kemaslahatan umum. Secara singkat kewajiban-kewajiban tersebut dapat diungkapkan dalam kalimat hirasat al-din wa siyasat al-dunya.
Pemimpin Negara merupakan penguasa tertinggi di negara tersebut. Kekuasaan tertinggi ini harus betul-betul dimanfaatkan untuk mencapai kebaikan bersama. Jika kekuasaan ini diselewengkan atau disia-siakan maka akan timbullah berbagai kerusakan. Betapa vitalnya posisi pemimpin negara sampai-sampai Nabi bersabda bahwa baik buruknya umat ditentukan oleh dua golongan : ‘umara (pemimpin) dan ulama.
Negara bertanggung jawab atas kemaslahatan kehidupan rakyatnya, baik dari sisi agama, sosial ekonomi, keamanan dan ketertiban, serta keadilan. Kalau kita mencermati Negara Ideal Madinah maka kita akan tercengang : betapa bertanggungjawabnya Negara atas rakyatnya !!! Sebuah contoh : ketika keuangan Madinah sudah cukup memadahi, Nabi selaku kepala negara menjamin hutang-hutang setiap warganya yang meninggal dunia dengan meninggalkan hutang.
Rakyat, sebagaimana Negara, juga mempunyai kewajiban-kewajiban. Secara umum kewajiban rakyat adalah taat kepada Negara selama tidak untuk bermaksiat kepada Allah. Diantara penyebab terjadinya berbagai tragedi pada masa kekhalifahan Ali ibn Abu Thalib adalah ketidaktaatan dan pembangkangan rakyat. Prahara tersebut hendaknya menjadi pelajaran bagi umat Islam sesudahnya.
Hal lain yang perlu dipahami ialah bahwa Islam senantiasa menekankan kepada setiap umatnya untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya. Apabila setiap pihak menunaikan kewajiban-kewajibannya, maka hal itu akan berimplikasi pada terpenuhinya hak-hak setiap pihak. Apabila kewajiban-kewajiban ditunaikan maka hak-hak akan terpenuhi dengan sendirinya tanpa perlu dituntut. 
Secara lebih terperinci, berikut ini akan diuraikan tentang hak-hak warganegara dalam Negara Islam dan hak-hak Negara (khalifah).
Hak-hak warganegara dalam Negara Islam bisa dibedakan atas Hak-hak Politik dan Hak-hak Umum.
1.      Hak-hak Politik Warganegara
1.1.  Hak Memilih (Haqq al-Intikhab)
1.2.  Hak untuk Diajak Bermusyawarah (Haqq al-Musyawarat)
Bagaimana jika sang kepala negara sudah tsiqah (terpercaya)? Apakah dia masih harus bermusyawarah dengan rakyatnya? Jawabnya adalah ya, dengan beberapa alasan berikut :
·          Sesungguhnya kepala negara, meskipun sudah terpercaya, secara sengaja atau tidak mungkin saja menetapkan kebijakan yang merugikan rakyat. Apabila kebijakan sudah ditetapkan dan dilaksanakan, maka tidak ada jalan lagi untuk menghalau kerugian yang ditimbulkan (karena sudah terlanjur).
·          Sesungguhnya perwakilan (al-wikalat) kepala negara atas rakyat merupakan perwakilan yang terikat (al-wikalat al-muqayyadat). Diantara pengikat-pengikatnya adalah kewajiban kepala negara untuk bermusyawarah dengan rakyat. Hal ini telah dinashkan dengan jelas dalam Al-Qur’an : “... Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu ...” (QS. Alu Imran: 159)
Musyawarah merupakan sunnah Nabi saw. Meskipun Rasulullah merupakan seorang Nabi yang menerima wahyu dari langit, namun beliau sangat gemar bermusyawarah dengan para sahabat. Para ulama mengatakan bahwa yang demikian itu adalah agar menjadi teladan bagi umatnya sepeninggal beliau.
Nabi telah bermusyawarah dalam memutuskan Perang Badar dan dalam memutuskan untuk keluar kota atau tidak dalam Perang Uhud. Disamping itu, masih sangat banyak contoh-contoh tentang kebiasaan Nabi untuk bermusyawarah.
Para ulama mengatakan bahwa jika kepala negara tidak mau bermusyawarah dengan ahlul ‘ilmi wad din, maka menurunkannya adalah wajib. [Tafsir Qurthubiy Juz 4 hal. 249]
Musyawarah dengan rakyat dilaksanakan menyangkut beragam urusan dunia dan urusan-urusan agama yang bersifat ijtihadiy. Dalam urusan-urusan dunia, yang harus dimusyawarahkan adalah hal-hal yang penting saja. Tidaklah setiap masalah harus dimusyawarahkan, apalagi jika itu hanya masalah-masalah kecil dan kurang penting.

Dengan Siapakah Kepala Negara Harus Bermusyawarah ?
Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita menengok sunnah Nabi.
·          Rasulullah bermusyawarah dengan jumhur kaum muslimin dalam masalah-masalah penting yang langsung berkaitan dengan rakyat. Contohnya adalah ketika harus memutuskan apakah kaum muslimin akan bertahan didalam kota atau keluar kota dalam Perang Uhud.
·          Dalam suatu urusan yang tidak melibatkan seluruh rakyat, Rasulullah bermusyawarah dengan orang-orang yang berkepentingan dengan urusan tersebut saja. Contohnya adalah musyawarah mengenai ghanimah Hawazin.
·          Adakalanya Rasulullah bermusyawarah dengan pemuka-pemuka kaum. Contohnya adalah dalam masalah Ghathafan.
·          Adakalanya Rasulullah juga bermusyawarah dengan orang-orang tertentu. Contoh untuk ini sungguh amat banyak.

Dari teladan nabi diatas, kita bisa menyimpulkan :
Dengan siapa kepala negara bermusyawarah, amatlah bergantung pada jenis masalah yang hendak dimusyawarahkan.
·          Dalam masalah-masalah penting yang langsung berkaitan dengan seluruh rakyat, sedapat mungkin kepala negara harus bermusyawarah dengan seluruh rakyat. Dalam hal ini kepala negara juga bisa bermusyawarah dengan ahlul hall wal ‘aqd yang merupakan representasi rakyat.
·          Adapun dalam masalah-masalah yang memerlukan keahlian maka hendaknya kepala negara bermusyawarah dengan para ahli.

Majlis Syura
Dalam pengertian istilahiy, Majlis Syura ialah suatu majelis (lembaga) yang bertugas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan (advis) kepada kepala negara, baik diminta ataupun tidak. Pada dasarnya lembaga ini hanya bertugas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan, sedangkan pengambilan keputusan tetap berada di tangan kepala negara. Meskipun begitu, para ulama memiliki banyak pendapat tentang kondisi dimana kepala negara berbeda pendapat dengan Majlis Syura. Semua ulama sepakat bahwa dalam kasus ini kita harus merujuk pada QS. Al-Nisa’: 59, “... Apabila kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah masalah itu kepada Allah dan Rasul-Nya apabila kalian beriman kepada Allah dan Hari Akhir ...”. Apabila dengan merujuk pada Allah (Kitabullah) dan Rasul (Al-Sunnah), masalah masih belum bisa diselesaikan, maka terdapat tiga kemungkinan solusi :
·          Solusi pertama : Metode Tahkim
Maksudnya, panitia khusus dibentuk, beranggotakan para pakar dalam masalah yang diperselisihkan. Panitia khusus inilah yang akan menengahi perbedaan antara kepala negara dan Majlis Syura.
·          Solusi kedua : Mengambil Pendapat Terbanyak (Voting)
·          Solusi ketiga : Mengambil Keputusan Kepala Negara secara mutlak.
Alasannya ialah karena kepala negaralah yang paling bertanggung jawab atas keputusan yang diambil.

Dari pembahasan tentang Majlis Syura, kita bisa membedakan dengan jelas antara lembaga ini dan ahlul hall wal ‘aqd :
·          Majlis Syura bertugas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada kepala negara, sedangkan ahlul hall wal ‘aqd bertugas untuk mengangkat atau menurunkan kepala negara.
·          Majlis Syura tidak pernah lebih tinggi dari kepala negara. Majlis Syura bisa saja diangkat oleh kepala negara. Sebaliknya, ahlul hall wal ‘aqd, pada saat menunaikan tugasnya (mengangkat dan menurunkan khalifah) lebih tinggi daripada kepala negara.
·          Ahlul hall wal ‘aqd diangkat oleh rakyat sebagai representasi mereka. Majlis Syura tidak harus diangkat oleh rakyat.

1.3.  Hak Mengawasi / Mengontrol (Haqq al-Muraqabat)
Karena khilafah menyerupai wikalat maka rakyat berhak mengawasi penguasa sebagaimana pemberi kuasa berhak mengawasi yang diberi kuasa. Bahkan, pada dasarnya pengawasan / pengontrolan rakyat atas penguasa bukan saja hak akan tetapi kewajiban. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda,”Agama itu nasihat”. Para sahabat pun bertanya,”Untuk siapa, wahai Rasulullah?”Maka beliau menjawab,”Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan masyarakat pada umumnya”.
Pengawasan / pengontrolan rakyat atas penguasa merupakan bagian dari amar makruf nahi munkar yang harus dilaksanakan dengan adab-adab tertentu. Diantara adab-adabnya ialah :
·          Harus dimulai dengan cara yang lemah lembut. Ingatlah bagaimana Musa diperintahkan untuk datang memperingatkan Fir’aun dengan lemah lembut (layyin), padahal Fir’aun sudah amat melampaui batas. Apabila cara yang lemah lembut tidak bermanfaat maka hendaknya diambil cara-cara yang lebih tegas. Demikian seterusnya, sampai kebenaran dan keadilan bisa ditegakkan.
·          Nahi munkar tidak boleh menimbulkan kemunkaran yang lebih besar.
Seorang penguasa harus bersedia untuk dinasihati. Akan lebih baik lagi apabila dialah yang terlebih dulu minta nasihat, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para khulafa’ rasyidun.

1.4.  Hak Menurunkan Khalifah (apabila keadaan mengharuskan) (Haqq al-‘Azl)
Rakyat berhak menurunkan khalifah apabila terdapat sebab-sebab syar’i yang mengharuskan. Rakyat berhak menurunkan khalifah melalui kekuasaan ahlul hall wal ‘aqd. Namun apabila ahlul hall wal ‘aqd tidak mampu melaksanakan tugas ini atau apabila khalifah tidak mengindahkan ahlul hall wal ‘aqd, maka rakyat bisa langsung turun tangan dengan menggunakan kekuatan untuk menurunkan khalifah. Kekuatan ini harus dipastikan mampu menurunkan khalifah. Jika tidak, maka penggunaan kekuatan tidak diperbolehkan karena hanya akan menimbulkan fitnah. Imam Abu Hanifah pernah dua kali ditawari untuk berpartisipasi dalam pemberontakan terhadap khilafah Umawiyah yang lalim. Pada kali pertama beliau menolak karena kekuatan rakyat saat itu belum memadahi. Namun pada kali kedua beliau menerima karena kekuatan rakyat sudah memadahi, sehingga tumbanglah Umawiyah digantikan oleh Abbasiyyah.

1.5.  Hak untuk Mencalonkan (Haqq al-Tarsyih)
Seorang warganegara berhak untuk mencalonkan orang lain untuk menduduki jabatan politik. Namun seorang warganegara, pada dasarnya, tidak berhak (dan tidak etis) untuk mencalonkan dirinya sendiri, karena Nabi melarang yang demikian. Namun jika keadannya darurat (seperti di zaman ini dimana banyak orang-orang fasiq dan tidak memiliki keahlian saling berebut jabatan politik) maka pencalonan diri sendiri menjadi boleh asalkan memenuhi syarat-syaratnya. Allah telah mencontohkan fenomena ini dalam kasus Yusuf as.
Hal penting yang harus diperhatikan dalam pencalonan diri ialah bahwa yang bersangkutan tidak boleh mencela sesamanya tanpa alasan yang benar (secra syar’i) demi meraih jabatannya. Ia hanya boleh menunjukkan visi, misi, dan pemikiran-pemikirannya, dan tidak lebih dari itu. Politik Islam adalah politik yang penuh etika. Berpolitik, dalam Islam, senantiasa dibingkai oleh kerangka akhlaq yang mulia.

1.6.  Hak untuk Dipilih / Memangku Jabatan-jabatan Umum (Haqq Tawalliy al-Wazha-if al-‘Ammat)
Sebetulnya, memangku jabatan politik bukanlah hak akan tetapi taklif dan amanah. Nabi melarang umat-Nya untuk memberikan  jabatan kepada orang yang memintanya (karena ambisi). [Taisir al-Wushul Juz I hal. 18]
Apabila menuntut jabatan politik tidak dianjurkan, lalu bagaimanakah seharusnya? Jawabnya, hal ini menjadi tanggung jawab para penguasa yang ada. Para penguasa yang telah ada hendaknya mengangkat para pejabat dari orang-orang yang terbaik (al-ashlah). Nabi bersabda,”Barangsiapa memegang satu urusan kaum muslimin (maksudnya menjadi penguasa) kemudian ia mengangkat seseorang menjadi pejabat padahal ia mengetahui ada orang lain yang lebih baik bagi (kemaslahatan) kaum muslimin, maka sungguh ia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya”. [Al-Siyasat al-Syar’iyyat oleh Ibn Taimiyyah, hal. 4]
Nabi juga bersabda,”Apabila amanat disia-siakan, maka tunggulah Saat Kehancuran (al-sa’at)”. Rasulullah ditanya,”Bagaimanakah menyia-nyiakannya?” Rasulullah menjawab,”Yakni apabila suatu urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya”.
Di zaman ini, penguasa bisa menetapkan persyaratan-persyaratan dalam rekrutmen para pejabat. Persyaratan-persyaratan inilah yang diharapkan akan bisa mengantisipasi jatuhnya jabatan-jabatan pada orang-orang yang tidak berhak.

Hak-hak Umum Warganegara

2.1. Hak Persamaan (Al-Musawat)
Allah Ta’ala berfirman,”Wahai manusia! Sesungguhnya Aku menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Aku menjadikan kalian berkelompok-kelompok dan bersuku-suku adalah agar kalian saling mengenal (al-ta’aruf). Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertaqwa”.
Allah juga berfirman,”Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencian kalian kepada suatu kaum menyebabkan kalian tidak bersikap adil kepada mereka. Bersikaplah adil karena itu lebih dekat kepada taqwa” (QS Al-Ma-idah: 8).
Ketika ‘Amr ibn ‘Ash menjadi wali (gubernur) Mesir di masa Umar ibn Khaththab, ia sempat menyakiti seorang warganya karena telah berani mendahuluinya. Akhirnya, warga Mesir tadi mengadu kepada Khalifah Umar. Umar pun menetapkan hukuman balas atas Amr, seraya berkata,”Wahai Amr, sejak kapan engkau memperbudak manusia padahal sungguh-sungguh ibunya telah melahirkannya dalam keadaan merdeka?”
Umar ibn Khaththab pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ariy :
“Samakanlah setiap manusia dalam majelis-majelismu, di hadapan wajahmu, dan dalam pengadilan-pengadilanmu, sehingga orang yang berkedudukan tidak menjadi berharap atas keberpihakanmu, sementara orang yang lemah tidak putus asa terhadap keadilanmu”.

2.2. Hak Kebebasan (Al-Hurriyyat)
2.2.1. Kebebasan Individu (Al-Hurriyyat Al-Syakhshiyyat)
Dalam Islam terdapat prinsip Bara’at Al-Dzimmat, yakni suatu ketetapan bahwa setiap individu pada asalnya adalah bebas (dari segala beban dan tuntutan). Berangkat dari sini, setiap warganegara adalah terbebas dari segala bentuk hukuman selama belum ada bukti yang menunjukkan sebaliknya.
Termasuk dalam kebebasan individu adalah kebebasan untuk hidup terhormat. Islam amat menjunjung tinggi kehormatan setiap orang. Pencemaran nama baik diancam dengan hukuman qadzf (hadd al-qadzf). Islam tidak hanya menjaga kehormatan kaum muslim. Dalam islam, Ahli Dzimmah dijaga kehormatannya sebagaimana kaum muslim. Rasulullah bersabda,”Barangsiapa menyakiti seorang Dzimmi maka aku (Rasulullah) adalah musuhnya. Dan barangsiapa yang menjadikan aku sebagai musuhnya, maka aku akan memusuhinya pada Hari Kiamat”[Al-Jami’ Al-Shaghir oleh Imam Suyuthi, juz II hal. 473]. Ali ibn Abi Thalib berkata,”Ahli Dzimmah mengeluarkan jizyah hanyalah agar harta mereka seperti harta kita (muslim) dan darah mereka seperti darah kita (dalam hal kehormatannya)”.

2.2.2. Kebebasan Berkeyakinan (Beraqidah) dan Beribadah.
Allah Ta’ala berfirman,”Tidak ada paksaan dalam beragama. Sungguh telah jelas antara petunjuk dan kesesatan” (QS Al-Baqarah: 256). Sebagaimana telah dijelaskan didepan, manusia bebas memilih agamanya (aqidahnya). Kebebasan memilih inilah yang justru menjadi hal yang tidak boleh hilang. Jika ini hilang, maka manusia tidak lagi berbeda dengan hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda mati lainnya.
Apabila ada yang bertanya,”Kalau memang Islam menjamin kebebasan beragama, mengapa Islam menghukum mati orang yang murtad (keluar dari Islam)?” Jawabnya, masalah hukuman bagi seorang murtad sama sekali tidak rancu dengan jaminan Islam atas kebebasan beragama. Apabila seseorang melakukan sesuatu atas pilihannya sendiri, maka sudah sewajarnya dia harus rela menerima segenap akibat dari apa yang dilakukannya itu. Tatkala seseorang hendak masuk Islam, dia telah mengetahui bahwa apabila dia masuk kemudian murtad maka dia akan dihukum mati. Hal ini sudah dia ketahui sebelum dia masuk Islam. Jadi, dia tahu bahwa hukuman atas kemurtadan merupakan bagian dari Islam.  Apabila dia masuk Islam setelah itu, maka berarti dia telah rela atas segala konsekuensi tindakannya itu. Bagi orang yang tidak rela dengan konsekuensi masuk Islam (diantaranya hukuman atas kemurtadan), maka janganlah ia masuk Islam. Jadi, sangatlah jelas bahwa Islam tidak pernah mengebiri kebebasan beragama.

2.2.3. Kebebasan Bertempat Tinggal
Setiap warganegara dalam negara Islam bebas bertempat tinggal dan menjadikan tempat tinggalnya itu sebagai kawasan privatnya. Allah Ta’ala berfirman,”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sehingga kalian minta ijin dan mengucapkan salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian agar kalian menjadi ingat. Apabila kalian tidak mendapatkan satu orang pun didalam rumah itu, maka janganlah kalian memasukinya sampai kalian diijinkan. Dan apabila dikatakan kepada kalian,’Kembalilah!’ maka kembalilah kalian. Yang demikian itu lebih suci bagi kalian. Dan Allah Maha Mengetahui atas segala yang kalian perbuat”(QS. Al-Nur: 27-28).



Setiap warganegara berhak untuk berpendapat (mengeluarkan pikiran) dalam rangka mencapai kemaslahatan. Bahkan, berpendapat dalam rangka amar makruf nahi munkar bukan lagi hak, akan tetapi sudah menjadi kewajiban.
Namun perlu diketahui bahwa kebebasan berpendapat tidaklah bersifat mutlak tanpa batasan. Kebebasan ini tetap mempunyai batasan-batasan, antara lain:
2.3. Hak Menuntut Ilmu / Mendapatkan Pengajaran
Apabila mendapatkan pengajaran merupakan hak, dilihat dari sisi warganegara, maka dari sisi yang lain, Negara berkewajiban untuk mencerdaskan rakyatnya. Negara wajib menciptakan instrumen-instrumen bagi pencerdasan rakyatnya. Aspek pendidikan dan pengajaran ini merupakan aspek yang amat penting, mengingat akal pikiran merupakan ciri khas kemanusiaan yang membedakan manusia dari makhluk yang lain. Untuk itu tidak selayaknya Negara mengabaikan aspek pendidikan seraya mengejar keglamoran aspek-aspek material.
Perhatian yang besar dari Negara atas masalah pendidikan rakyat bisa kita lihat dalam Sirah Nabawiyah. Suatu ketika Nabi, selaku kepala negara, mengambil kebijakan bahwa tebusan untuk tawanan Badar adalah empat puluh auqiyat. Barangsiapa tidak mampu dengan tebusan seperti itu, maka tebusannya adalah dengan mengajarkan tulis-menulis kepada sepuluh orang muslim.
Jadi, masalah pendidikan bukanlah semata-mata masalah individu, tetapi ia merupakan tanggung jawab NegarA
2.4. Hak Memperoleh Tanggungan (Al-Kafalat) dari Negara
Tidaklah mungkin seorang warganegara dalam Negara Islam hidup terlantar dalam kesengsaraan dan Negara membiarkannya saja, sementara Negara mengetahuinya. Jadi, Negara Islam bertanggung jawab atas kesejahteraan warganegaranya.
Islam mencela sikap meminta-minta. Oleh karena itu, agar orang yang tidak mampu tidak terjerumus menjadi peminta-minta, maka Negara Islam harus menciptakan iklim yang baik bagi tersedianya lapangan kerja secara memadahi. Dengan demikian, setiap warganegara tidak akan mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan. Jangan sampai ada warganegar yang ingin bekerja secara halal namun tidak ada lapangan kerja yang bisa dia geluti.
Apabila ada seorang warga yang kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan, maka Negara wajib membantunya, misalnya dengan memberikan pinjaman modal yang diambilkan dari Baitul Mal. Abu Yusuf pernah mengatakan,”Apabila ada pemilik tanah yang kesulitan mengelola tanahnya karena miskin maka  negara wajib memberikan pinjaman kepada orang tersebut dari Baitul Mal, sehingga dia sanggup bekerja mengelola tanahnya itu”.
Apabila ada seorang warga tidak mampu menghidupi dirinya, maka wajib bagi ‘a-ilat (keluarga dekat penerima waris) –nya untuk membantunya. Apabila yang demikian masih belum mencukupi maka Negara wajib menanggungnya. Negara wajib memberikan pekerjaan yang halal dan layak kepadanya.
Negara Islam wajib mengelola zakat dengan baik. Negara wajib memungut zakat dari setiap muslim yang telah wajib membayar zakat. Apabila zakat tidak mencukupi kebutuhan, maka Negara bisa menutupinya dengan harta Baitul Mal.[Al-Siyasat Al-Syar’iyyat oleh Ibn Taimiyyah]
Terhadap orang-orang yang sudah tidak lagi mampu bekerja, misalnya karena jompo atau cacat, maka Negara wajib menanggungnya (memberikan tunjangan).
Kewajiban Negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat tidak hanya berlaku pada kaum muslim, namun juga berlaku bagi kaum dzimmiy. Sejarah Islam telah membuktikan bahwa terhadap kaum dzimmiy yang tidak mampu, Negara Islam membebaskan kewajiban membayar jizyah dari pundak mereka, bahkan Negara memberikan tunjangan kepada mereka dari harta Baitul Mal.
Apabila Negara tidak mampu menanggung orang-orang yang tidak mampu karena keterbatasan ekonomi Negara, maka kewajiban tersebut berpindah kepada setiap orang mampu yang ada di pelosok negeri. Apabila orang-orang yang mampu berkeberatan untuk bersedekah membantu orang-orang yang tidak mampu, maka Negara wajib memaksa mereka sehingga mau bersedekah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar